Kebijakan Kriminal Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Relevansinya Dengan Pencegahan Kejahatan Ekonomi

  • Oleh MITA NESTHESIA HASIBUAN
  • Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung

BEDAHKASUS.ID – Hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Kritik dari berbagai kalangan  pemberlakuan UUPK ini adalah pada unsur penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi yang lemah menjadi referensi utama sasaran kritik, hal ini dijumpai pada norma-norma perlindungan dalam undang-undang itu terlalu lemah. Seperangkat norma-norma hukum, utamanya dalam perumusan tindak pidana/delik baru (kriminalisasi) terlihat kabur akan norma-norma perlindungan konsumen dan institusi-institusi perlindungan konsumen. Dalam pemberdayaan penting untuk mengembangkan kesadaran pelaku usaha tidak merugikan kepentingan konsumen. Sehingganya perlu pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif.

Kunci pokok terhadap masalah perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan produsen saling membutuhkan. Dalam mencapai tujuan inilah peranan hukum sangat penting dalam usaha melindungi konsumen. Salah satu hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan produk yang kualitas dan kuantitasnya sepadan dengan beban finansial yang diberikannya kepada pengusaha. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pengusaha sering kali tergelincir dalam usaha untuk memperoleh laba tanpa menghiraukan hak konsumen atas mutu produk yang dibeli.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya dapat mendorong iklim perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Apabila dilihat dari kaca mata kebijakan kriminal, UUPK menempuh dua jalur, yakni jalur non penal dan jalur penal. Dilihat dari jalur non penal terlihat adanya upaya perlindungan konsumen melalui :

  1. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah (Pasal 29-30 UUPK) dengan membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);
  2.  Pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swasta Masyarakat (LPKSM), Pasal 30;
  3.  Penyelesaian sengketa lewat gugatan perdata melalui pengadilan (Pasal 45-46); dan
  4. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 47-49.

kebijakan perlindungan konsumen lewat jalur penal dalam UUPK diwujudkan dalam perumusan tindak pidana dalam Pasal 26 yang terdiri dari dua kelompok, yaitu :

  1. Pasal 62 Ayat (1), yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 Milyar. Kelompok pertama ini terdiri dari tindak pidana berupa pelanggaran terhadap Pasal 8, 9, 10, 13 (1), 15, 17 (1dan 2), dan
  2. Pasal 18. Pasal 62 Ayat (2), yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak 500 juta. Kelompok kedua ini terdiri dari tindak pidana berupa pelanggaran terhadap Pasal 11, 12, 13 (1), 14, 16, dan Pasal 17 (1).

kebijakan penal yang tercantum dalam UUPK, terdapat beberapa catatan kolektif pembagian 2 (dua) kelompok tindak pidana perlindungan konsumen dalam Pasal 62 di atas, hanya didasarkan pada jumlah maksimum ancaman pidananya. Sangat disayangkan dalam Pasal 62 itu tidak disebutkan kualifikasi deliknya, berapa kejahatan atau pelanggaran. Memperhatikan perumus dan delik dalam pasal 62 di atas, yang dapat mempertanggungjawabkan (yang menjadi subjek tindak pidana) adalah pelaku usaha. Menurut Pasal 1 sub 3, Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang membentuk badan hukum atau bukan. Namun didalam UU ini tidak ada ketentuan mengenai kapan atau dalam hal bagaimana suatu badan usaha /badan hukum dikatakan telah melakukan tindak pidana. Yang ada hanya ketentuan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya pada (Pasal 61).

Dampak timbulnya korban (kerugian konsumen) dari perbuatan badan usaha/badan hukum kemungkinan lebih besar dari pada perbuatan orang perorangan. Pembedaan pidana ini dapat ditempuh dengan mennentukan maksimum denda yang berbeda atau dengan menentukan jumlah minimum khusus pidana denda untuk badan usaha/badan hukum, namun karena UUPK ini sudah disahkan, maka adanya pembedaan pidana itu diharapkan mendapat perhatian dalam kebijakan penerapannya/aplikasinya.

Ditinjau dari kebijakan formulasi ada beberapa catatan kolektif yang akan menghambat efektifitas pelaksanaan UU ini dalam upaya untuk melindungi kepentingan konsumen, seperti adanya berokrasi baru bagi konsumen yang gagal menuntut keadilan lewat BPSK, akibat pelaku usaha yang tidak sukarela melaksanakan putusan BPSK. Dengan demikian, berarti harus diselesaikan dengan prosedur peradilan. Kebijakan formulasi pidananya juga ada beberapa masalah, seperti tidak disebutkan kualifikasi delik berupa kejahatan dan pelanggaran, tidak ada ketentuan kapan sebuah badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana dan aturan pemdanaan yang kurang berorientasi kepada kepentingan korban/konsumen. Hanya bentuk sanksi pembayaran ganti rugi saja yang langsung berorioentasi pada kepentingan korban/konsumen atau hanya sebagai pidana tambahan.

Sistem perumusan pidana dalam Pasal 62 yang lebih berorientasi pada: pelaku tindak pidana (offender oriented) sebenarnya tidak dapat diharapkan banyak adanya perlindungan antara konsumen sebagai korban (victim). Dengan dipidananya pelaku berdasarkan pasal 62 saja (pidana penjara atau denda), korban/konsumen yang dirugikan tidak mendapatkan apa-apa. Dilihat dari sudut korban/konsumen, harapan adanya bentuk perlindungan secara langsung hanya ada pada bentuk sanksi pembayaran ganti rugi. Namun, sanksi ini menurut Pasal 62 hanya merupakan pidana tambahan.

Dalam aturan/delik khusus, seperti UUPK ini sebenarnya bisa saja kebijakan perumusan sanksi yang berorientasi pada korban (victim oriented) dilakukan dengan menjadikan sanksi ganti rugi itu sebagai pidana pokok atau sebagai pidana tambahan yang bersifat imperatif untuk delik-delik/kondisi-kondisi tertentu. Menempatkan ganti rugi sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif dirasakan kurang mengakomodasikan ide yang tertuang dalam Pasal 4 (h) UUPK yang menyatakan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pada Pasal 19 (1) UUPK yang menyatakan, bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Kurangnya keseimbangan perhatian terhadap korban/konsumen terlihat juga dari perbandingan jumlah denda dalam pasal 62 dengan ganti rugi (sebagai sanksi administratif) dalam Pasal 60. Menurut Pasal 62, denda (yang jatuh kepada negara) dapat mencapai Rp. 2.000.000.000;00 (dua milyar) untuk delik dalam ayat (1) atau mencapai Rp. 500.000.000;00 (lima ratus juta rupiah) untuk ayat (2). Sedangkan ganti rugi yang diberikan kepada korban/konsumen menurut Pasal 60 hanya maksimum Rp. 200.000.000;00 (dua ratus juta rupiah).

Bahwa ganti rugi dalam Pasal 63 (sebagai pidana tambahan) sama sekali tidak ditentukan besarnya. Hal ini ada baiknya untuk memberi kebebasan/kelonggaran bagi hukum. Namun dalam penerapan seyogyanya hakim memperhatikan keseimbangan antara ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan ini dengan besarnya ancaman denda Pasal 62 di atas. Salah satu faktor untuk menegakkan hak-hak konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan prilaku konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggung jawab, yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknya sebagai konsumen. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *