BEDAHKASUS.ID (PRINGSEWU) -Pringsewu- Direktorat Pembinaan Tenaga Lembaga Kebudayaan (PTLK) Kemendikbud Ristek RI bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pringsewu menggelar Lokakarya Tata Kelola Festival.
Lokakarya Tata Kelola Festival tersebut menghadirkan narasumber Saiful Hilal (Pringsewu), Nabila (Lampung Utara) dan Semi Ikra Anggara (Panel Ahli Indonesiana) dengan moderator Tian Hestiarto, Selasa (22/8) di aula SMK Muhammadiyah Pringsewu dan diikuti oleh puluhan peserta yan berasal dari berbagai unsur, terutama unsur kedinasan dan komunitas kebudayaan se-Kabupaten Pringsewu.
Kapokja Platform Indonesiana, Wawan Yogaswara menjelaskan, Indonesiana bukanlah semata festival, melainkan sebuah platform yang mengarusutamakan kerja gotong royong di dalam setiap pelaksanaannya.
“Penting mendorong para pihak untuk memiliki perspektif yang sama, bahwa sebuah festival yang baik harus dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder. Pelibatan komunitas, merupakan hal mutlak,” ujar Wawan.
Sigit Budiharto mewakili Disdikbud Pringsewu menyampaikan ucapan terimakasih, sebab tahun ini merupakan Indonesiana pertama kali bagi Kabupaten Pringsewu.
Saiful Hilal, perwakilan komunitas kebudayaan, sekaligus pembicara pada sesi pertama lokakarya menjelaskan upaya tim kerja mengapungkan nilai-nilai keberagaman, selain menampilkan seni pertunjukan tradisional lintas etnis yang ada di Pringsewu, juga membuat karya baru berdasarkan legenda Waybulok.
“Kelak diwujudkan di dalam sebuah karya sendratari yang memadukan unsur seni dari berbagai etnis, semacam karya kolaboratif lintas kultural,” paparnya.
Nantinya, pementasan sendratari Waybulok dikoreografi dua koreaografer, yakni Gustiara Dini dan Aulia Hastami, serta melibatkan puluhan penari dari berbagai komunitas tari di Pringsewu.
Memberikan perspektif lebih luas, Nabila Kurnia Adzan, akademisi tari Unila sekaligus direktur Cangget Bara Festival memaparkan pengalamannya selama dirinya membidani festival di Lampung Utara tersebut.
Nabila mengatakan, Cangget Bara digagas dengan memperimbangkan konteks lokal, khususnya ekosistem budaya masyarakat adat, termasuk regenerasinya.
Kemudian, menjadi bagian platform Indonesiana adalah menumbuhkan kesadaran bahwa festival adalah satu dari rangkaian ekosistem yang lebih luas, di satu sisi terdapat kewajiban pemerintah daerah, di sini lain dukungan pemerintah pusat, demikian pula komunitas sebagai subjek pelaksana dan pihak swasta sebagai unsur pendukung pendanaan, khususnya melalui Corporate Social Responsibilty (CSR).
” Cangget Bara digagas dengan memperimbangkan konteks lokal, khususnya ekosistem budaya masyarakat adat, termasuk regenerasinya,” kata Nabila.
Nabila juga menekankan pentingnya strategi kerja yang sistematis dalam skema kerja: pra festival-festival- dan pasca festival. “Pembuatan timeline kerja adalah acuan bagi para pihak dalam komitmen dan tanggung jawab masing-masing,” tukasnya.
Sementara, Panel Ahli Indonesiana Semi Ikra Anggara, menegaskan posisi setiap subjek festival. Semi memaparkan tiga unsur keagenan, yakni: Agen, Agensi dan Agenda.
” Agen adalah kesadaran sebagai pelaku kebudayaan, agensi terkait kapasitas dan agenda adalah skema kerja yang diwujudkan melalui tahapan dan perencanaan kerja dengan target-target khusus,” jelas Semi.
Secara kritis Semi memaparkan problem jejaring pentahelix: Pemerintah, Masyarakat, Media, Akademisi dan Dunia Usaha. Bagi Semi problem utamanya adalah problem kesadaran, para pihak seringkali kesulitan berada pada satu frekwensi komunikasi yang sama, antar agen seringkali menatap agen lain dengan penuh judgment.
Pada bagian akhir lokakarya dibuat simulasi, peserta dibagi ke dalam lima kelompok, masing-masing berperan sebagai pemerintah, masyarakat, komunitas penyelenggara festival, media dan dunia usaha.
“Pada simulasi ditemukan pentingnya menyampaikan gagasan pada pihak yang memiliki perspektif yang berbeda. Strategi bahasa adalah satu hal penting, misalnya bahasa di dalam proposal kebudayaan bagaimana bisa diterima oleh dunia usaha, sehingga pihak swasta bisa mendukung kegiatan tersebut,” imbuh Semi.
Festival Budaya Pringsewu rencananya akan digelar pada pertengahan bulan September. Menampilkan seni pertunjukan lintas etnis, festival ini mengapungkan nilai-nilai multikulturalisme, sebuah isu lokal yang menurut Semi adalah isu penting di dalam tatanan global.
“Tantangannya bagaimana setiap sajian bisa memikat apresiator, bukan hanya apresiator lokal, tapi juga para penonton dari kota-kota yang jauh, sehingga festival ini menjadi identitas yang kuat (branding) bagi Pringsewu,” pungkasnya.
Di dalam susunan tim kerja, terlihat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melibatkan komunitas dari berbagai komunitas kesenian, sekaligus menunjukan semangat Platfom Indonesiana di dalam festival yang baru pertama kali digelar ini.
(*DIMAS MR*)